Blue Diary

Tags

, ,

Blue Diary Sulaiman Djaya

Puisi Sulaiman Djaya

Aku datangi kotamu –sorehari
selepas pukul lima,
jingga telah jadi warna senja.

Di trotoar jalan di Cibiru, kukira,
kau seorang bidadari
berkerudung terbaru berwarna abu-abu

dan celana jeans biru.
Kukirimkan sajak di hari ulang-tahunmu
di sebuah Juni di ujung Sabtu

sudut-sudut kota Bandung.
Tapi di hari Minggu aku telah
kehilangan dirimu

dari sebuah foto
yang tak lagi baru
di meja basah di ruang bacaku.

(2001)
Foto oleh Clayton Perry

Dongeng Negeri Telaga Kahana (Bagian II: Sunyi Senja di Kaki Lembah)

Tags

, , , , , , , , ,

The Keeper

Kisah pun berlanjut, sebelum memang akhirnya harus dihentikan, seperti ketika kau membaca lembar-lembar buku fiksi dan dongeng kesukaanmu. Dan meskipun kisah dan cerita ini hanya dongeng rekaan semata alias hanya hasil angan-angan pikiran dan imajinasi benak jiwa, tidak menutup kemungkinan bagian-bagian tertentu dari riwayat yang diceritakannya memiliki kemiripan dengan kehidupan nyata, atau kau pernah membacanya dari dongeng yang lain dengan versi yang berbeda, tapi punya kepedihan dan kegembiraan yang tak jauh berbeda.

Baiklah kita mulai saja. Kali ini kau perlu mengetahui secara singkat Negeri Telaga Kahana, sebelum kisahnya berlanjut ke episode berikutnya, yang acapkali menyimpang dari perencanaan sebelumnya…….

Negeri Telaga Kahana, di mana Siswi Karina dan Misyaila menginap dan makan bersama di rumah Zipora itu, adalah negeri yang damai dan dihuni oleh penduduk yang hatinya dipenuhi cinta dan kasih-sayang kepada segenap yang hidup dan mencintai alam serta lingkungan mereka. Meskipun demikian, negeri itu pun tak luput dari invasi mereka yang hidupnya didasarkan pada nafsu kekuasaan dan hasrat untuk menguasai dan menaklukkan mereka yang lemah dan tak memiliki senjata.

Hari itu, seperti yang telah diniatkan, Misyaila mengarahkan tongkat ajaibnya pada suatu tempat, dan seketika kereta kuda yang sebelumnya dinaikinya bersama Siswi Karina muncul di hadapan mereka –secepat keinginan yang ada di hati mereka akan kehadirannya. Kali ini mereka akan kembali bertualang ke sebuah negeri, yang tentu saja, tidak pernah diketahui atau dikunjungi Siswi Karina sebelumnya, kecuali oleh Misyaila.

Kereta kuda itu melesat begitu cepat setelah mereka berada di dalamnya. Suatu keajaiban lainnya adalah bahwa delapan kuda putih yang masing-masing memiliki sepasang tanduk kristal di kepala mereka itu seakan begitu saja telah mengerti tujuan mereka melalui semacam telepati dengan Misyaila. Semacam ilmu laduni yang dimiliki oleh mereka yang memiliki kedekatan dengan Tuhan yang pengasih dan penyayang kepada mereka yang juga memiliki sifat welas-asih dan kasih-sayang.

Mereka melewati gunung-gunung, rawa-rawa, lembah-lembah, dan hutan-hutan aneh yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Meskipun demikian, kereta kuda itu seperti terbang dan agak mengambang melewati hutan-hutan, mengambang di rawa-rawa, atau sesekali seperti berlari dengan begitu cepat di antara lembah-lembah dan kelokan-kelokan pegunungan.

Ternyata negeri yang hendak mereka tuju dan hendak mereka selidiki itu begitu jauh –sebuah negeri yang diberi nama oleh para penghuninya, yaitu kaum yang menyukai kekuasaan dan perang, dengan nama Negeri Perserikatan Bangsa Amarik.

Negeri itu begitu mempesona, di mana tempat-tempat tinggal para penghuninya menjulang tinggi. Di negeri itu juga terdapat kawasan-kawasan khusus megah yang hanya boleh ditinggali para prajurit, sementara di kawasan-kawasan khusus lainnya terdapat semacam pabrik-pabrik dan gedung-gedung yang senantiasa menciptakan senjata-senjata super canggih yang tak dapat dibuat oleh bangsa-bangsa lain, kecuali oleh bangsa pesaing mereka, yaitu Bangsa Rumantium.

Hasrat berkuasa dan menguasai negeri-negeri lain membuat para penduduk atau penghuni negeri itu begitu ulet mengembangkan tekhnologi persenjataan dan melakukan riset-riset dan inovasi-inovasi persenjataan. Negeri itu dipimpin oleh seorang yang gila perang dan memiliki hasrat berkuasa yang sangat besar, yang bernama Jarjus Bushan, seorang pemimpin yang anehnya sangat idiot –barangkali tak jauh berbeda dengan badut amatiran.

Dan yang membuat Misyaila kaget adalah negeri itu ternyata dibentengi oleh semacam kubah cermin maha-raksasa yang senantiasa menampakkan kilatan-kilatan cahaya, mirip gelombang-gelombang kilatan listrik, hingga Misyaila hanya bisa melihat sebagian kecil Negeri Bangsa Amarik yang menakjubkan dan super canggih itu lewat kejernihan kubah pelindungnya tersebut.

Dari ketinggian pegunungan di mana mereka berhenti itu, Misyaila pun tahu bahwa negeri itu dilindungi oleh benteng yang sangat tebal dan tinggi, dan mereka dapat melihat sebuah menara besar yang sangat tinggi terletak di negeri tersebut. Jika negeri itu dilindungi kubah raksasa, dari manakah para penduduknya bisa keluar ketika mereka melakukan invasi ke negeri-negeri lain? Demikian kira-kira yang jadi pertanyaan Misyaila di batin-nya. Dan tentu saja, rasa heran dan ketakjuban serupa juga dirasakan oleh Siswi Karina, meski mereka tak saling mengutarakannya, dan hanya memendam keheranan mereka di hati mereka masing-masing.

Demi menyelidiki dan meneliti negeri tersebut, dan tentu saja dengan sangat hati-hati, agar tidak ketahuan para spion alias para intelijen atawa para teliksandi negeri tersebut, Misyaila dan Siswi Karina memutuskan untuk menuruni gunung di mana kereta kuda mereka ditinggalkan –dan tentu saja, menghilang begitu saja bila tak dibutuhkan, dan akan hadir bila dibutuhkan –akan hadir begitu saja bila Misyaila menginginkan dan menghendaki kedatangannya.

Setelah mengetahui Negeri Amarik yang terlindungi dengan tekhnologi super canggih tersebut dari balik bukit sebuah gunung, Misyaila dan Siswi Karina memutuskan untuk kembali ke Negeri Telaga Kahana, sementara kala itu waktu sudah tiba di ujung senja, yang berarti kegelapan akan mengambil-alih waktu dan kesunyian dengan kesunyian yang lain lagi.

Betapa indah cahaya senja saat itu, sementara aneka keindahan pohon dan yang ada si sekitarnya turut pula menyusun lanskap-lanskap keindahan yang lain. Dan seperti biasa, kereta super cepat mereka pun kembali hadir begitu saja ketika mereka hendak menempuh perjalanan, kali ini perjalanan kembali ke Negeri Telaga Kahana.

Segera saja, setelah mereka telah berada di dalam kereta super cepat mereka tersebut, kereta yang ditarik kuda-kuda putih bertanduk indah (yang mirip para Unicorn) itu melesat bak kecepatan cahaya, menempuh perjalanan pulang ke Negeri Telaga Kahana dari Negeri Amarik yang jaraknya memang sangat jauh –yang membutuhkan waktu berbulan-bulan bila harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Sesampainya di Negeri Telaga Kahana, mereka pun kembali menuju rumah keluarga Zipora, dan Zipora pun dengan ikhlas mempersilakan mereka masuk, seperti sebelumnya. Mereka pun kembali makan dan menginap di rumah tersebut, juga seperti yang mereka lakukan sebelumnya.

“Bolehkah saya tahu apa yang telah kalian lakukan?” ujar Zipora membuka perbincangan setelah makan malam itu. “Kami telah mengetahui tempat keberadaan sebuah bangsa yang orang-orangnya dulu pernah menghancurkan negeri kamu ini.” Jawab Misyaila. “Negeri itu sungguh di luar dugaan kami dan memiliki perlindungan yang sangat kuat. Sepertinya, jika kalian ingin melindungi negeri kalian ini, kalian harus juga membangun pertahanan dan perlindungan yang kuat dan harus memiliki orang-orang yang terlatih untuk berperang dalam keadaan yang akan terjadi kapan saja. Kalian harus mempersiapkan diri untuk sesuatu yang bisa saja terjadi di masa depan.”

Mendengar apa yang dikatakan Misyaila tersebut, Zipora tampak sedikit agak sungkan dan sedikit merenung. Ingin rasanya ia tidak membenarkan apa yang dikatakan Misyaila tersebut, namun pada sisi yang lain, kebenaran apa yang dikatakan oleh Misyaila itu tak bisa ditolak sebagai sebuah fakta tak terbantahkan bila nasib Negeri Telaga Kahana tidak ingin terulang, nasib yang membuat suami Zipora gugur dalam perjuangan perlawanan yang gagah berani menghadapi para agressor dari Negeri Amarik dengan senjata-senjata super canggih mereka.

Kala itu, Negeri Telaga Kahana nyaris musnah jika saja tak ada bantuan, semacam mukjizat, ketika penduduk negeri tersebut kedatangan sebuah pasukan burung-burung yang tangkas melemparkan batu-batu panas yang menimpa para agressor dari Negeri Amarik yang menyerang dengan ganas negeri Zipora yang dikunjungi Misyaila dan Siswi Karina itu.

Saat itulah, Misyaila adalah salah satu pemimpin pasukan burung-burung yang membantu para penduduk Negeri Telaga Kahana yang ketika itu menghadapi kekuatan luar biasa yang nyaris saja memusnahkan mereka semua.

“Aku sendiri yang akan melatih anakmu, Ilias, menjadi seorang prajurit dan panglima perang!” Lanjut Misyaila kepada Zipora. “Watak dan kecerdasan anakmu itu cukup memberitahuku bahwa ia yang kelak akan menggantikan ayahnya sebagai pemimpin yang kuat. Sementara itu dua adik-adik Ilias, dua anak perempuanmu, Hagar dan Sophia, akan kami didik sebagai perempuan-perempuan yang memiliki pengetahuan-pengetahuan dan kecerdasan-kecerdasan yang kami miliki.”

Saat Misyaila berbicara kepada Zipora tersebut, ketiga anak Zipora tersebut: Ilias, Hagar, dan Sophia, hadir dan mendengarkan apa yang dikatakan Misyaila. Jika Zipora menyetujui usulan dan keinginan Misyaila itu, maka Ilias, Hagar, dan Sophia akan dibawa ke Negeri Farisa, negeri yang dikenal karena kecerdasan para pemimpinnya dan karena kemajuan ilmu pengetahuan mereka yang setara dengan ilmu pengetahuan orang-orang di Negeri Amarik dan memiliki kercerdasan sebagaimana kecerdasan Bangsa Rumantium.

Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015-2016)

Dongeng Negeri Telaga Kahana (Bagian I: Dunia dalam Dunia)

Tags

, , , , , , , , ,

Eva Green Kingdom of Heaven

Kereta kuda itu melaju begitu cepat –tak ubahnya kecepatan cahaya, dan tak meninggalkan debu di belakangnya. Di dalam kereta kuda itu seorang gadis belia, Siswi Karina, masih terus bertanya-tanya di dalam hatinya seputar kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang ia alami sebelumnya. Perahu mungil dan empat peri yang menghilang tiba-tiba begitu saja, dan juga hal-hal lainnya. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik kereta itu, “Siapakah engkau sebenarnya?” “Aku Misyaila” jawab si empunya kereta ajaib tersebut. Mendengar nama itu, Siswi Karina teringat nama pelukis dan seniman yang karya lukisannya pernah ia lihat di tempat ia bekerja, Michelangelo, yang jika diterjemahkan, nama itu artinya adalah malaikat Mikhail.

Sembari berbincang itu, tanpa terasa mereka pun telah sampai di sebuah telaga yang di atasnya berdiri dengan rapihnya barisan rumah-rumah indah yang belum pernah ia lihat. Saat itu Siswi Karina pun mendengar sayup-sayup suara musik, dan ia berusaha menduga di mana musik tersebut didendangkan. Ia seakan mendengar petikan-petikan suara harpa, alunan biola, dan komposisi cello, meski menurutnya itu semua hanya mirip saja. Tempat di mana kini ia berada itu memang lebih mirip sebuah lukisan naturalis –sebuah telaga raksasa dengan rumah-rumah ajaib di atasnya. Lembah-lembah, sabana-sabana, dan bukit-bukit yang dipenuhi tumbuhan dan binatang-binatang yang juga belum pernah ia lihat.

Ada unggas-unggas berwarna hijau. Ada kambing-kambing yang memiliki sepasang tanduk hijau dan memiliki sepasang sayap di punggung mereka. Ada capung-capung yang ukuran tubuhnya sama dengan burung-burung dan memiliki sepasang sayap berwarna merah terang. Semua itu membuat Siswi Karina takjub. Ia juga melihat Unicorn berwajah lelaki tampan, yang tersenyum ke arahnya saat ia memandang Unicorn tersebut. Unicorn itu memiliki sepasang sayap berwarna hijau di punggungnya –sepasang sayap yang menakjubkan.

Karena masih didera keheranan sekaligus kekaguman, Siswi Karina pun berusaha memuaskan sepasang matanya untuk melihat dan mengetahui segala yang ada di sekitaran telaga raksasa itu. Bagaimana di tempat itu, ternyata, rumah-rumah yang seakan mengambang di telaga itu dihuni oleh manusia-manusia yang lebih kecil dari ukuran tubuh dirinya, namun memiliki wajah-wajah yang cantik, menawan, dan tampan. “Semua ini sudah ada sebelum engkau ada”, ujar si pemilik kereta kuda super cepat itu kepada Siswi Karina, yang seakan mengingatkan dirinya bahwa dirinya memiliki seorang sahabat dan tidak sendirian.

Mereka pun berjalan menuju susunan alias barisan rumah-rumah (yang seperti mengambang di atas telaga ajaib tersebut) melalui jembatan yang tersusun dari batu-batu yang entah karena apa, juga mengambang dan tidak tenggelam. Semula Siswi Karina mengira rumah-rumah itu tampak begitu dekat, namun ternyata cukup jauh juga. Tahu bahwa Siswi Karina ingin segera sampai di rumah-rumah itu, tanpa disadarinya Misyaila menyentuhkan tongkat ajaibnya ke salah satu kaki Siswi Karina, dan tiba-tiba Siswi Karina pun sudah ada di depan salah-satu rumah, tentu saja berbarengan dengan Misyaila sendiri, yang menggunakan salah-satu rahasia ilmu Tuhan yang ia dapatkan dari salah seorang rasul.

“Shalom ‘Eleykum” ujar Misyaila sembari mengetuk pelan pintu salah satu rumah tersebut. Tak berapa lama, muncul seorang perempuan yang tingginya hanya separuh tinggi Siswi Karina. Ia adalah Zipora, yang sekaligus kepala rumah tangga yang menggantikan posisi dan tugas suaminya yang gugur dalam perang melawan para penyusup yang bekerja untuk kekuatan buruk (jahat). Ia telah mengenal Misyaila, namun belum mengenal Siswi Karina, dan karena itu ia memperkenalkan dirinya sembari agak membungkuk, dan segera dibalas oleh Sisiwi Karina dengan memperkenalkan diri pula.

Di rumah itu, tentu saja, Zipora tidak sendiri –ia ditemani satu anak lelakinya (si sulung) yang bernama Ilias dan dua putrinya yang masing-masing bernama Hagar dan Sophia.

“Bolehkah kami menginap semalam saja, Zipora,” ujar Misyaila, dan Zipora mengangguk tanda mengiyakan permintaan Misyaila. Ia menyeru nama Sophia agar menyiapkan hidangan untuk Siswi Karina dan Misyaila, serta untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya, sementara ia sendiri mempersilahkan kedua tamunya tersebut untuk segera masuk. Kini mereka bersama-sama sudah duduk di lantai rumah tersebut, yang seperti terbuat dari susunan batu Kristal, di mana rumah itu sendiri meski dari luar tampak mungil, ternyata begitu luas saat di dalam, yang lagi-lagi membuat Siswi Karina takjub.

Menu makan malam yang disediakan Sophia untuk mereka adalah sebuah buah yang bernama Buah Barakat yang berwarna merah menyala, tapi bentuk seperti mentimun, namun lebih panjang dari mentimun normal, yang oleh Sophia telah dipotong-potong dan ditempatkan ke masing-masing bejana berwarna hijau. Mulanya Siswi Karina ragu apakah dengan hanya memakan dua potong Buah Barakat tersebut rasa laparnya akan hilang dan tenaganya akan pulih. Dan lagi-lagi, ia kembali heran ketika merasakan nikmatnya buah tersebut, namun pada saat bersamaan ia pun merasa terpuaskan dengan hanya memakan dua potong saja. Ia belum pernah merasakan kenikmatan buah tersebut selama hidupnya.

Buah itu memiliki rasa yang mirip anggur, tapi ia lebih nikmat dari anggur. Memiliki kelenjar cair yang seperti jeruk, tapi rasa asam dan manisnya jauh melebihi rasa jeruk. Sungguh Kuasa Tuhan yang Agung yang takkan pernah terpikirkan oleh akal manusia yang acapkali arogan dan merasa diri mereka sanggup memahami misteri, padahal hanya menduga-duga. Dan mereka tak perlu minum setelah memakan Buah Barakat tersebut –karena buah tersebut menghilangkan lapar sekaligus haus.

Sementara itu, Misyaila sendiri sudah sering singgah ke rumah Zipora, yang salah-satu alasannya adalah karena ingin mengetahui keadaan anak-anak Zipora secara berkala. Barangkali ia memang memiliki misi dan rahasia khusus kenapa ia begitu perhatian kepada anak-anak Zipora, semenjak ayah mereka, yaitu Iliyyun, gugur ketika memimpin pertempuran melawan para penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (atau perintah jahat) dari sebuah dunia yang untuk sementara belum diketahui Misyaila.

Usai makan bersama, dan kemudian diteruskan dengan perbincangan yang tidak terlalu lama itu, Siswi Karina dan Misyaila pun beristirahat di satu kamar dengan dua alat tidur yang telah disediakan Zipora untuk masing-masing mereka. Esok mereka akan menuju sebuah tempat yang sudah tentu tidak diketahui oleh Siswi Karina dan hanya diketahui oleh Misyaila. Sebuah tempat yang teramat sangat purba, yang dikenal oleh para penduduk Telaga Kahana itu bernama Jaham, sebuah tempat yang untuk sementara dicurigai oleh Misyaila sebagai asal pasukan penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (kendali jahat) yang telah menewaskan suami Zipora dan sejumlah penduduk lainnya beberapa tahun silam.

Hak cipta ©Sulaiman Djaya (2015)

Einstein & Teologi

Tags

, , , , , ,

Sulaiman Djaya dan Albert Einstein

What really interests me is whether God had any choice in the creation of the World…… “Pertanyaan yang benar-benar menarik bagi saya adalah apakah Tuhan punya pilihan dalam penciptaan Dunia” (Albert Einstein).

“Yang membuatku marah adalah, ketika orang-orang yang menyangkal Tuhan, mengunakan argumenku untuk mendukung pandangan mereka” (Albert Einstein). “Suatu ketika hiduplah seorang wanita bernama Bright –dan ia berkelana melampaui kecepatan cahaya. Suatu hari ia berangkat, dengan kecepatan relatif terhadap waktu, dan kembali pada malam sebelum keberangkatan” (dalam Lawrence M. Krauss, Physics of Star Trek).

PROLOG SEBUAH FRAGMEN
Di tahun 1927, para ahli fisika berkumpul di sebuah ruangan (khusus) yang berada dalam sebuah gedung besar. Dan pagi itu, di luar gedung, salju turun ragu-ragu, persis ketika awal musim dingin mulai datang, pelan dan lamban. Tentulah ketika itu, kebanyakan orang memilih berlindung di balik selimut demi melindungi tubuh mereka dari serangan dan serbuan cuaca dingin, sehingga cuaca awal musim selalu disambut dengan kemalasan.

Tapi tidak demikian dengan para ahli fisika yang berada di sebuah ruangan di gedung itu, mereka berdebat, berdiskusi, sementara itu salju terus turun lamban tapi pasti di luar ruangan (di luar gedung) tempat mereka berdebat menguras argumen dan pikiran itu.

Mereka adalah Max Planck, Pauli, dan Werner Heisenberg, yang sedang membahas tentang Albert Einstein, salah-satu kolega mereka yang sekaligus merupakan teoritikus fisika terbesar abad (mutakhir) ini.

Diskusi mereka saat itu menitik pada satu pokok soal yang dirasa urgen dan cukup mengundang tanya mereka sebagai sesama ilmuwan, yaitu Albert Einstein kolega mereka yang terlampau sering berbicara tentang Tuhan dalam setiap esai dan ceramahnya, seperti ketika Einstein menulis, “aku ingin membaca pikiran Tuhan”, “Tuhan tidak bermain dadu”, dan yang lainnya.

Pertanyaan yang ada dalam benak mereka saat itu adalah ‘bagaimana para ilmuwan itu harus menyikapi kelakuan Einstein tersebut?’ Namun, setelah perdebatan sengit yang banjir argumen dan menguras daya-pikir, akhirnya salah-satu peserta rapat itu, yaitu Pauli, menyatakan:

“Kalau batas antar bidang-bidang pemikiran dan pengalaman kita semakin menajam, pada akhirnya kita akan masuk pada sebuah kesepian yang menakutkan dan kita harus ijinkan air mata menetes”.

Sebagaimana kita tahu, sebagai ilmuwan (fisikawan), Einstein menolak konsepsi Tuhan yang antroposentris (Tuhan yang dibayangkan seumpama manusia). Einstein melihat ide Tuhan personal sebagai bentuk antropomorfisme (seperti contohnya Mujassimah Wahabi yang menganggap Tuhan punya tangan dan bertempat).

Dalam pandangan Einstein yang demikian, seperti alam, Tuhan adalah misteri tak terlukiskan dengan bahasa manusia.

Mengapa demikian? Tak lain karena ia pun tidak bisa melukiskan batas sepi (sunyat) kosmos, sehingga ia pun harus terpaksa berhenti pada E=MC2. Dan hal itu pun tidak juga menuntaskan misteri kosmos yang bertahun-tahun dipikirkan dan ingin diketahuinya. Singkatnya, Kosmos dan Tuhan tetap misteri yang tak akan pernah terungkap tuntas.

Dalam hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah berkhutbah: “Ia yang untuk menggambarkan-Nya tak ada batas telah diletakkan, tak ada pujian yang maujud, tak ada waktu ditetapkan, dan tak ada jangka waktu ditentukan. Ia mengadakan ciptaan dengan kodrat-Nya, menebarkan angin dengan rahmat-Nya, dan mengukuhkan bumi yang goyah dengan batu”.